
Dyah Anita, pendiri dan Dirut PT Ditadini Neo Suara, penyedia iklan dengan media LCD TV.
Kedatangan peluang bisnis bisa tak terduga. Bahkan, ia bisa datang lewat pergaulan dalam lingkup organisasi. Berawal dari kumpul-kumpul dengan sesama wanita aktivis antirokok, Dyah Anita sukses menggaet bisnis periklanan beromzet miliaran rupiah.
MASYARAKAT DKI Jakarta tentu sudah sangat akrab dengan busway. Sarana transpotasi yang digagas mantan Gubenur Sutiyoso itu kini makin diminati. Buktinya, penumpangnya semakin berjubel, apalagi pada saat jam berangkat dan pulang kantor. Bukan hanya itu, saat liburan, jalur-jalur tujuan objek wisata pun penuh sesak.
''Saya baca ada peluang di situ. Khususnya untuk pengembangan industri periklanan,'' kata Dirut PT Ditadini Neo Suara Dyah Anita saat ditemui di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Senin (22/2).
Mulanya Nita memang sudah bergumul dengan dunia periklanan. Tetapi, itu sebatas untuk kepentingan kampanye antirokok, narkoba, HIV AIDS di sebelas rumah sakit di Jakarta, yakni dengan media LCD TV 32 inci yang menayangkan iklan layanan masyarakat dari Pemda DKI Jakarta dengan nama E-Vision.
Bisnis itu datang dari pergaulannya di organisasi Wanita Indonesia Tanpa Tembakau pada 2007. Saat itu, jebolan Magister of Business Administration, Major in Marketing Management, Oklahoma City University, USA, tersebut menjadi ketua umum Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT). ''Kebetulan kami mendapat kepercayaan dari Pemda DKI Jakarta untuk menyosialisasikan program antirokok,'' ujar pemegang sabuk cokelat di cabang olahraga karate itu.
Untuk menggarap iklan antirokok, didirikanlah PT Ditadini Neo Suara. Usaha yang lebih banyak untuk kegiatan kemanusiaan itu dijadikan sebagai modal untuk terjun lebih serius ke bisnis periklanan. ''Awalnya hanya segelintir karyawan yang saya rekrut. Seiring dengan berjalannya waktu, kami menambah beberapa expert (ahli, Red) di bidang periklanan untuk menambal kekurangan-kekurangan yang ada,'' imbuh penghobi nonton *** itu.
Maklumlah, sebagai ahli arsitektur dan manajemen, dia tak begitu menguasai seluk beluk periklanan. ''Tetapi, di balik itu saya bertekad mengombinasikan kemampuan mereka untuk jadi tim bisnis yang solid. Butuh kemampuan manajemen untuk menggabungkan kemampuan para ahli sehingga menghasilkan karya yang bagus,'' jelas Nita yang juga ketua Pengurus Daerah Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Provinsi DKI Jakarta itu.
Akhirnya, insting bisnis istri Yudi Yulius tersebut pun bicara. Wanita yang juga bergelar sarjana dari Fakultas Arsitektur Landsekap dan Lingkungan, Universitas Trisakti Jakarta, itu melihat ada peluang cukup bagus di produk E-Vision untuk dikembangkan. ''Tentu tanpa menghilangkan unsur kampanye untuk kesehatan masyarakat dan bisnis yang mendatangkan pundi-pundi keuntungan,'' terang wanita kelahiran Jakarta, 22 Juni 1964 tersebut.
Dyah Anita yang akrab dipanggil Nita itu kemudian mencoba membidik pusat keramaian masyarakat Jakarta untuk dijadikan sarana beriklannya. ''Kami sempat memasang beberapa billboard. Eh, mahal jatuhnya (biaya pemasangan, Red). Bisa hampir Rp 2 miliar per tahun,'' cetus ibu dua anak itu.
Penggemar film layar lebar My Name is Khan itu lalu berpikir untuk memasang iklannya di shalter busway. ''Saya berpikir itu adalah kawasan strategis untuk bisnis kami. Tiap ada penumpang yang berjejalan. Dan tiap orang bisa melihat itu untuk beberapa kali sehingga apa yang disampaikan langsung tertanam di otak penonton,'' jelasnya.
Selain itu, karena belum ada pesaing yang memanfaatkan peluang tersebut, biaya pemasangan peranti iklan di shalter busway terbilang murah jika dibandingkan dengan billboard. ''Tak diduga, respons langsung berdatangan dari korporasi-korporasi besar. Selain banderol harga murah, mereka meyakini iklan juga efektif.
Sebanyak 20 shalter busway lalu dipasangi E-Vision. Dalam sehari ada 75 lima kali pemutaran iklan yang lengkap dengan suara. ''Itu keunggulan kami dibandingkan dengan billboard yang tak bersuara,'' tutur peraih penghargaan 100 wanita inspirator dari salah satu majalah wanita itu. Sudah ada puluhan perusahaan yang telah sepakat untuk bekerja sama. Bisa dibayangkan penghasilan yang diraup jika kontrak per tahun di atas Rp 500 juta. (*/kim)
0 comments:
Post a Comment