so beautiful, so colourfull

so beautiful, so colourfull

Datang dari pelosok desa, jalan berliku ditempuh Sarno Eryanto sebelum mencapai sukses. Agar talenta bisnis terasah, semua pekerjaan serabutan dia ambil. Hasilnya luar biasa. Dengan bendera Pramita, kini Sarno memimpin 12 jaringan laboratorium (lab) di kota-kota besar Pulau Jawa dan mempekerjakan 800 karyawan.

SEMUA bermula ketika Sarno duduk di bangku SMA pada pertengahan 1970-an. Karena kondisi keuangan keluarga terbatas, dia pun rela melakoni berbagai jenis pekerjaan. Termasuk menjadi penjual jamu temulawak yang dia titipkan di warung-warung.

Lepas dari menjual jamu, dia menjajal sebagai penjual obat di pinggir jalan dengan cara membuka rombong. Namun, tutur Sarno, pekerjaan ini dirasa kurang menguntungkan, apalagi saat musim hujan dan rombong harus buka sampai malam. ''Lakunya gak seberapa. Akhirnya saya berpikir untuk ganti profesi,'' katanya saat ditemui di Laboratorium Pramita cabang Jemur Andayani, Surabaya, pekan lalu.

Ingin berganti suasana, dia pun melamar bekerja di Apotek Bangun Harjo di seberang Kantor PDAM Surabaya. Awalnya, Sarno hanya melihat-lihat apotek itu dari kejauhan. Ketika itu, dia melihat pemiliknya turun dari mobil Mercy. Dia pun nekat meminta kerja apa saja. ''Nah, saya diterima jadi cleaning service. Bersihkan WC, ngepel, macem-macem,'' tuturnya.

Pekerjaan itu dia lakoni setelah pulang sekolah hingga pukul 21.00. Selama bekerja, Sarno banyak belajar. Relasi dengan asisten apoteker pun dia jalin dengan baik. Karena rajin, Sarno diganjar dengan kenaikan karir yang cepat. Semula hanya disuruh-suruh mengambilkan obat, kemudian dia dipindah ke bagian resepsionis.

Dari resepsionis, Sarno dipercaya untuk bagian gudang. Selanjutnya, dia ikut membantu administrasi hingga akhirnya menjadi kepala administrasi dan asisten apoteker. ''Mulai noto resep, ngeplong-ngeplong, sampai berbagai jenis obat saya hafal. Injeksi, drop, sirup, hafal semua. Tulisan dokter yang jelek sekali pun saya bisa baca,'' kenangnya.

Lulus SMA sebenarnya Sarno diminta sang ayah melanjutkan ke Akabri. ''Tapi, tidak bisa karena badan saya kerempeng. Berat hanya 45 kg, kurang satu kg dari syarat minimal,'' katanya.

Melalui relasi yang dijalin selama bekerja di apotek, dia pun sering berkomunikasi dengan dosen-dosen di Universitas Airlangga (Unair). Terutama, dosen yang berkaitan dengan kesehatan dan obat. ''Saya sempat minta pendapat kepada Pak Puruhito (mantan rektor Unair, Red) untuk belajar di konsulat Prancis. Tapi, aturan minimal harus D-3,'' katanya.

Oleh karena itu, Sarno kembali bekerja di tempat yang sama. Lokasi apotek yang tidak jauh dari kawasan kampus Unair membuat dia iri ketika banyak mahasiswa yang menuju kampus. Dia pun terinspirasi untuk melanjutkan kuliah. ''Saya ingin kuliah. Ingin sekali. Saya konsultasi lagi ke Pak Puruhito, lalu disarankan untuk ambil program studi analis medis. Tapi, setelah benar-benar diterima kuliah, saya malah bingung biayanya,'' katanya.

Sarno mengajukan permohonan utang ke koperasi tempatnya bekerja. Namun, tidak disetujui. Sebab, waktu itu, kenang dia, direkturnya mulai berulah. Kondisi keuangan di tempatnya bekerja mulai goyang. ''Kondisinya semakin tidak menentu. Akhirnya saya keluar, gak peduli nanti makan apa,'' tuturnya.

Tidak kehilangan akal, Sarno kembali melihat peluang untuk berdagang. Salah satu di antaranya, mengambil barang dagangan dari Pelabuhan Tanjung Perak. ''Apa pun barang yang datang di pelabuhan saya terima. Arloji, baju, pokoknya macam-macam. Lalu, saya jual ke dosen-dosen. Alhamdulillah, kondisi ekonomi saya membaik. Malah bisa beli motor, mobil, kontrak rumah, TV, dan bawa Ibu dari desa ke Surabaya,'' katanya.

Pekerjaan berdagang dilakoni Sarno hingga lulus diploma. Dia pun melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Unair. ''Minat saya memang ke hukum. Dan, itu sangat bermanfaat ketika bersinggungan dengan hal-hal yang saya hadapi kemudian,'' tambahnya.

Selama kuliah di fakultas hukum, dia kembali bekerja. Insting bisnis kembali membawa dia untuk membuka usaha baru. Bersama teman-teman semasa kuliah di analis medis, dia membuka laboratorium yang pertama. ''Ada delapan orang, termasuk saya, mendirikan Laboratorium Klinika di Jalan Prof Moestopo, Surabaya. Waktu itu saya yang terpilih menjadi direktur,'' kenangnya.

Modal usaha dia dapatkan dari patungan, masing-masing Rp 500 ribu. Jadi terkumpul Rp 4 juta. Gedungnya kontrak bulanan. ''Dan, satu tahun setelah pendirian hasilnya sangat bagus. Bahkan, bisa bagi dividen Rp 500 ribu per orang,'' katanya.

Tapi, seiring dengan perkembangan laboratorium yang semakin ramai, lanjut dia, teman-teman mulai bertingkah. Masing-masing ingin menduduki posisi direktur. ''Akhirnya pada 1986 akhir saya tidak lagi menjabat direktur. Saya serahkan posisi, tapi saya malah tidak diorangkan (dianggap, Red),'' katanya.

Selanjutnya, bisnis kembali dikembangkan dengan menggandeng seorang kawan perempuan. Bertiga dengan suami kawan tersebut, didirikanlah laboratorium di Malang. Masing-masing menyumbang Rp 2,5 juta. Dia pula yang kembali dipercaya menjadi direktur. ''Saya buka di Malang, biar tidak dianggap menyaingi. Namanya Laboratorium SIMA. Enam bulan saja sudah besar,'' terangnya.

Ketika kawan-kawan di Laboratorium Klinika mendengar kabar bahwa laboratorium yang dikelola Sarno di Malang ramai, dividen pun dipersulit. ''Saya emosi. Tapi, saya melampiaskan emosi itu dengan membuka laboratorium baru lagi. Namanya Laboratorium Pramita, tahun 1987. Lokasinya di Jalan Dharmawangsa (Surabaya, Red). Itu bukan laboratorium tandingan karena masih kecil, baru merintis,'' katanya.

Laboratorium baru di Surabaya itu juga didirikan bersama rekan yang sama saat membangun laboratorium di Malang. Inovasi baru terkait jam layanan dilakukan. Selain laboratorium buka dua kali, yaitu pagi pukul 07.00-10.00 dan sore 16.00-19.00, Sarno membuka laboratoriumnya sehari penuh. Yaitu, pukul 06.00-21.00 dengan sistem dua sif. ''Saya berasumsi, orang yang mau berangkat kerja pagi-pagi biar bisa mampir ke lab. Nah, dengan buka seharian, hasil laboratoriumnya juga bisa diambil sewaktu-waktu. Jadi tidak perlu menunggu laboratoriumnya buka'' tambahnya.

Selain inovasi pada jam pelayanan, pihaknya berinovasi pada layanan tes kesehatan. Dari yang biasanya hanya tes darah dan kencing, pihaknya menambah layanan foto rontgen. ''Masih yang sederhana saja, seperti foto melihat jeroan liver, empedu, jantung. Tapi, hasilnya lumayan ramai,'' katanya.

Dia pun berinovasi dengan mengembangkan layanan one stop service. Di dalamnya terdapat fasilitas treadmill, rekam otak, dan penanda stroke. Bahkan, dengan sistem komputerisasi saat layanan kesehatan, laboratoriumnya menjadi semakin unggul. ''Dulu orang kalau periksa hasilnya bisa berlembar-lembar. Kolesterol satu lembar, liver satu lembar, tes kencing satu lembar. Dengan komputerisasi itu, dari yang awalnya 10 lembar, hasilnya bisa diringkas menjadi satu lembar kertas. Melalui inovasi ini, kami makin dikenal. Satu tahun berdiri sudah punya nama,'' terangnya.

Penambahan cabang pun dilakukan. Dikatakan, sejak 1987-2007, dia sudah memiliki sepuluh cabang. Yaitu, di Bandung, Jakarta, Medan, Jogjakarta, Jember, dan Cirebon. Namun, partner kerjanya memilih memisahkan diri. ''Akhirnya pada 2007 itu dibagi fifty-fifty. Masing-masing lima. Teman saya menambahkan kata ''Utama'' menjadi Pramita Utama. Kalau saya, tetap Pramita,'' katanya.

Kerja keras pun terus dia lakukan untuk kembali membesarkan laboratoriumnya. Hasilnya, dalam jangka waktu tiga tahun sejak 2007, dia berhasil menambah delapan cabang baru. Hingga kini, secara keseluruhan terdapat 13 cabang. Rinciannya, Jakarta dua cabang, Bandung tiga cabang, Surabaya empat cabang, Cirebon satu cabang, dan Jogjakarta satu cabang. ''Tahun ini diharapkan bisa menambah 2-3 cabang baru,'' katanya.

Sarno menambahkan, di seluruh cabang Laboratorium Pramita kini setidaknya terdapat 800 karyawan. Belum termasuk dokter, profesor, dan lain-lain. Dia pun bercita-cita untuk membuka layanan 24 jam. (*/kim)
Posted by Kiasati On 12:09 AM 1 comment

1 comment:

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Blog Archive

Blogger news